Jakarta, CNBC Indonesia – Rupiah melemah signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang dipengaruhi faktor eksternal maupun internal.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp15.515/US% atau melemah 0,19% terhadap dolar AS. Di tengah perdagangan, rupiah sempat melemah hingga titik tertingginya yakni Rp15.540/US$. Posisi penutupan perdagangan hari ini merupakan yang terlemah sejak delapan bulan terakhir.
Sementara indeks dolar AS (DXY) pada Rabu (27/9/2023) berada di kondisi yang stagnan di posisi 106,23 atau sama jika dibandingkan penutupan perdagangan kemarin yang berada di posisi 106,23 juga.
Dari sisi global, Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Edi Susianto menyampaikan kepada CNBC Indonesia, Selasa (26/9/2023), bahwa pelemahan rupiah terjadi selain dari aspek global, juga ada dampak dari repatriasi dividen.
Edi menjelaskan bahwa pelaku pasar masih merasakan ketidakpastian atas kebijakan bank sentral AS Federal Reserve (The Fed). Suku bunga acuan AS dinilai masih berpotensi naik satu kali sampai akhir tahun.
Hal ini The Fed lakukan untuk memenuhi target inflasi AS yakni 2%. Untuk diketahui, AS mencatatkan inflasi sebesar 3,7% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Agustus 2023, naik dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 3,2% yoy.
Tingginya suku bunga AS dan sikap The Fed yang masih akan hawkish memberikan dampak capital outflow dari negara berkembang termasuk Indonesia. Suku bunga The Fed yang berpotensi menyamai suku bunga Indonesia ini akan memicu investor untuk menarik dana dan memindahkannya ke AS yang notabene merupakan negara maju dan rating surat utangnya lebih menarik.
Selain itu, ekonomi China, Eropa dan Jepang yang diperkirakan melemah turut menjadi sentimen negatif bagi investor. “Apa yang terjadi di Eropa, China dan Jepang ikut mendorong penguatan US dollar,” imbuhnya.
Sementara dari domestik, ada aktivitas repatriasi dividen dari sederet perusahaan. Edi menuturkan nilainya lebih besar dibandingkan dengan bulan sebelumnya, meski lebih rendah dari Mei 2023.
“Akhir bulan ini ada kebutuhan US dollar juga khususnya untuk repatriasi, hal ini juga ikut mendorong pelemahan rupiah,” tegas Edi.
Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro menambahkan, periode pencairan dividen setiap tahunnya terjadi pada Mei dan September 2023. Mei untuk dividen pertengahan tahun, sedangkan September keseluruhan tahun.
Permintaan dolar AS di dalam negeri akan meningkat 1-2 bulan sebelum pencairan dividen. Ini juga yang menjadi alasan rupiah berada dalam tren pelemahan hingga saat ini, selain efek sentimen global.
Selain hal tersebut, meskipun indikator ekonomi Indonesia relatif baik, namun efek Pemilu 2024 diperkirakan tetap akan berdampak ke rupiah. Selama gelaran Pemilu 2024 terdapat tren di mana rupiah mengalami pelemahan dan investor asing ogah masuk ke pasar modal dalam negeri.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan dalam gelaran Pemilu 2019, rupiah mengalami pelemahan. Namun, dia mengatakan pelemahan itu hanya terjadi sesaat dan pulih kembali setelah pemenang Pemilu diumumkan.
“Kalau kita lihat di 2019 cenderung cukup bias karena saat itu global menghadapi perang dagang, sehingga dampaknya relatif terhadap rupiah mengalami pelemahan menjelang Pemilu,” kata kata Josua Pardede Kupas Tuntas Asumsi Makro APBN 2024 di Bogor, Jawa Barat, Senin (25/9/2023).
“Pada saat hasil pemilu keluar dan kondisi politik cenderung stabil biasanya confidence investor rebound lagi dan indikator di pasar keuangan kembali,” tambah Josua.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Rupiah Perkasa, Akhirnya Dolar Say Good Bye Rp 15.300
(rev/rev)
Quoted From Many Source